Saya ini wanita, seorang pemalu yang tak mungkin berkata terlebih dahulu. Saya ini pengagum kamu, yang hanya bisa mendambamu dalam diam tengah sendu. Hanya pada kertas dan pena saya berbagi, hanya pada tembok bisu dan hening malam saya berkeluh hati. Dan hanya dengan meneguk secangkir kopi rindu ini bisa sedikit terobati. Iya, saya ini wanita pemalu, tak punya kata, yang hanya bisa mengagumimu.
Terkadang ingin sekali saya berteriak dan melepaskan semua yang saya rasa pada angin, tapi itu tak mungkin. Saya takut akan ada telinga-telinga diam yang tak sengaja mendengar dan memberitahukannya kepadamu. Saya takut bulan akan melirik dan memberitahukannya pula padamu. Pun terkadang ingin sekali saya ungkapkan semua yang saya rasa pada kamu. Namun, ah… sudahlah semua seperti akan percuma.
Bukannya saya pengecut, bukan! Bahkan saya seorang feminist. Tapi karena saya tak mau dikasihani, saya tak ingin terlihat lemah. Ya mungkin semua beralasakan karena saya tahu siapa seorang yang kamu cinta. Saya tahu bagaimana kamu sungguh sangat mencintainya. Saya tidak ingin menambah beban pikiran kamu saja. Simpel bukan?
Karena pernah suatu malam, saya mendapati kamu begitu sendu kala melewati bukit yang sangat indah itu. Harusnya jika kamu baik-baik saja, kamu akan terkagum dan tersenyum bahagia. Karena semua orang niscaya akan begitu, akan berdecak kagum, terpesona, dan terperanga akan keindahan pemandandangan dari bukit itu. Namun kala itu, kamu begitu murung, begitu sendu, begitu sedih. Saya tanya mengapa, kamu hanya diam saja. Sedih hati saya, sungguh teramat teriris.
Alasan saya bersedih bukan karena kamu begitu mencintai wanita itu, sama sekali bukan. Saya begitu bersedih karena melihat kamu bersedih. Angin malam begitu menusuk rasanya, begitu ngilu malam itu. Langit indah tengah malam pun terasa kelam. Jangan bersedih sayang, jangan bersedih lagi, jangan sekali-kali menampakan sedihmu di hadapan saya.
Dunia saya seperti tiba-tiba karam, kelam, tenggelam. Mungkin bisa dikata saya mengalah, ya mungkin itu benar. Saya tidak mungkin memaksa perasaan saya terhadap senja yang begitu saya damba. Pun halnya saya tahu bagaimana rasanya mendamba orang dengan penuh cinta. Saya begitu mendamba kamu, sedang kamu begitu mendambanya. Saya memang sedih, perih memang. Tapi saya akan jauh lebih sedih dan perih ketika mendapatimu dalam kesedihan.
Kita ini sama-sama orang cerdas, dan mereka yang berotak cerdas tentu cenderung setia. Berbeda dengan mereka yang berotak udang, yang dengan mudahnya bergonta-ganti perasaan. Sayangya perasaan tak semudah itu untuk di gonta-ganti. Terkadang saya berfikir apa harus saya menjadi salah satu mereka yang berotak udang untuk bisa berganti perasaan? Ah tidak, hal tersebut sama sekali tak pernah terfikirkan.
Biarkan saya menyimpan cinta saya, sayang saya, pada pena dan lembaran kertas tua. Biar saja saya bungkus cinta saya dalam doa. Ataupun cukup meluapkannya dengan secangkir kopi yang kamu suka.
Bila saja suatu saat nanti suatu hal baik terjadi, entah itu rencana Tuhan siapa yang tahu. Hanya pada kertas dan pena aku mengadu. Hanya pada mereka pula aku berbagi tumpukan rindu. Rindu yang semakin hari semakin menggunung, menumpuk tak terbendung. Mungkin saya hanya bisa tersipu malu bilamana Tuhan benar memberi kesempatan kamu untuk membaca lembaran rindu yang tertumpuk pada buku. Membaca seruan hati pada tulisan ini, suatu saat nanti.
0 Response to "Biarkan Aku Menyimpan Cinta dan Menumpuk Rindu Padamu"
Posting Komentar